MANUSIA SEBAGAI KHALIFATULLAH
Manusia di dunia ini adalah
sebagai wakil Allah Swt. (Q.S.2: 30,38:
26), sebagai pengganti dan penerus person (species) yang mendahuluinya (Q.5
:169),dan sebagai pewaris-pewaris di muka bumi(Q.S. 27:62). Di samping itu, manusia
adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi, dan gunung,
yang semunya enggan menerimanya. Namun dengan
ketololannya manusia mau menerima amanah itu (Q.5. 33:72), serta menjadi
pemimpin atas diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (H.R.Bukhari-Muslim dari
Ibnu Umar), Semuanya itu merupakan atribut dari fungsi manusia sebagai”Khalifah
Allah” di muka bumi.
Secara universal tujuan hidup
manusia adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat. Kebagiaan itu sendiri
sangat relatif sehingga masing-masing orang akan berbeda dalam memaknai arti
bahagia itu sendiri. Ada yang menilai kekayaan harta benda sebagai sumber
kebahagiaan hidup, yang lain menitikberatkan pada keindahan, pengetahuan,
kesusilaan, kekuasaan, budi pekerti, keshalehan hidup, keagamaan dan
sebagainya.
Masing-masing orang, setelah
merenungkan serta menilai hidupnya berdasarkan aneka ragam pengalaman yang
telah dilalui serta pengetahuan yang diperoleh dari orang lain atau bangsa
lain, ternyata mempunyai pandangan yang berbeda, di mana pandangan hidup itu
dijadikan dasar guna mencapai tujuan hidupnya yaitu untuk mendapatkan
kebahagiaan dalam hidupnya.
Dalam keberagaman pandangan hidup
yang berbeda itu, oleh ahli pikir disusun secara sistematis lalu timbullah
falsafah hidup manusia, yang di dalamnya terdapat pokok bahasan, misalnya; dari
mana asalnya hidup, siapa pemberi hidup, apa tujuan
hidup, apa yang akan terjadi sesudah mati, apakah hidup
bahagia itu, dan sebagainya.[1]
Para ahli filsafat sependapat
tentang tujuan akhir yang diinginkan oleh manusia
itu, yaitu kebahagiaan. Setiap manusia
ingin bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan itu bermacam-macam jalan yang ingin
ditempuh oleh manusia dengan melalui tujuan-
tujuan sementaranya masing-rnasing. Setiap manusia ingin baik, Tujuan sementaranya pun harus merupakan kebaikan-kebaikan. Dan tujuan
terakhir itulah yang disebut ”Summum Bonum”.Dan summum bonum itulah kebahagiaan
yang tertinggi yang ingin dicapai manusia[2].Karena
anggapan tentang baik ini bermacam-macam
interpretasi dan perkiraan masing-masing, maka terjadilah bermacam-macam usaha
perbuatan yang dilakukan yang juga berbeda-beda.
Dalam usaha dan perbuatan yang
berrnacam-macam dan berbeda-beda ini, ada yang sejalan menuju tujuan akhir,
tetapi ada pula yang tidak sejalan. Artinya,
sejalan dengan arah tujuan akhir akan sampai
pada tujuan akhir itu , yaitu jalan-jalan yang merupakan
kebaikan-kebaikan yang sebenarnya yang tidak bertentangan dengan tujuan akhir itu. Banyak orang yang terjebak dan jatuh pada kebaikan
yang bersifat fatamorgana yakni kebaikan yang palsu. Kebahagiaan/kebaikan yang
palsu ini akan mengakibatkan penderitaan, baik bagi dirinya ataupun pada yang
lainnya, baik langsung maupun tidak langsung.
Namun sesungguhnya tugas utama
manusia sendiri bukan mencari sebuah kebahagiaan. Secara tidak langsung manusia
hanya menjalankan fungsi haknya dibandingkan dengan menjalankan fungsi
kewajibannya. Karena kalau kita ingat bahwa manusia di samping mempunyai status
sebagai makhluk dan bagian dari alam, ia juga mempunyai tugas sebagai
khalifah/penguasa di muka bumi ini.
Dengan pengertian, bahwa manusia itu dibebani tanggung jawab dan anugerah
kekuasaan untuk mengatur dan membangun dunia ini dalam berbagai segi kehidupan,
dan sekaligus menjadi saksi dan bukti atas kekuasaan Allah Swt di alam jagat
raya ini. Tugas kekhalifahan ini bagi manusia merupakan tugas suci karena
merupakan amanah dari Allah Swt. Maka, menjalankan tugas sebagai khalifah
dibumi merupakan pengabdian (ibadah)
kepada-Nya. Bagi mereka yang beriman akan menyadari statusnya sebagai khalifah
(penguasa) di bumi, serta mengetahui batas kekuasaan yang dilimpahkan
kepadanya.
Tugas kekhalifahan yang
dibebankan kepada manusia itu banyak sekali, tetapi dapat disimpulkan dalam
tiga bagian pokok, sebagaimana yang ditulis oleh Abu Bakar Muhammad, yaitu:
1. Tugas
kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi menuntut ilmu yang berguna dan
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.
2. Tugas
kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga dengan jalan membentuk rumah tangga bahagia,
menyadari dan melaksanakan tugas dan kewajiban rumah tangga sebagai suami
isteri dan orang tua.
3. Tugas
kekhalifahan dalam masyarakat, dengan mewujudkan persatuan dan kesatuan,
menegakkan kebenaran dan keadilan sosial, bertanggung jawab dalam amar ma'ruf
dan nahi munkar dan menyantuni golongan masyarakat yang lemah.[3]
Demi melaksanakan tugas-tugas
tersebut, Allah Swt. Telah menurunkan wahyu yang disimpaikan melalui rasul-Nya
yaitu syari’at Islam sebagai pedoman bagi manusia. Allah Swt
juga memberikan kelengkapan yang sempurna kepada manusia
sehingga ia bisa dan mampu melaksanakan tugas
kekhalifahan tersebut dan akhirnya ia akan mampu mempertanggung jawabkan
tugas-tugas dan wewenang yang dikuasakan kepadanya.
Penciptaan manusia sebagai mahluk yang tertinggi sesuai dengan maksud dan
tujuan terciptanya manusia, yaitu untuk menjadi khalifah. Secara harfiah,
khalifah berarti yang mengikuti dari
belakang.Jadi, manusia adalah wakil atau pengganti di bumi
dengan tugas menjalankan mandat yang diberikan oleh Allah kepadanya, membangun dunia ini sebaik-baiknya (Q.5. 2:30/6:165). Sebagai khalifah,
rnanusia akan dimintai pertanggung jawaban atas tugas dalam menjalankan mandat Allah itu (Q.S. 10:14).
Adapun mandat yang dimaksud adalah:
1. Patuh dan tunduk sepenuhnya pada titah Allah Swt. Serta menjahui
larangan-Nya,
2. Bertanggungjawab atas kenyataan dan kehidupan di dunia sebagai pengemban
amanah Allah.
3. Berbekal diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, hidayah , agama, dan kitab
suci
4. Menerjemahkan segala sifat-sifat Allah Swt. pada perilaku kehidupan
sehari-hari dalam batas-batas kemanusiannya (kemampuan manusia), atau melaksanakan sunah-sunah yang diridhai-Nya terhadap alam semesta.
5. Membentuk masyarakat Islam yang ideal yang disebut dengan ”ummah”, yaitu
suatu masyaraksat yang sejumlah perseorangannya mempunyai keyakinan dan tujuan
yang sama .Tujuan tersebut adalah menghimpun diri secara harmonis dengan maksud
untuk bergerak ke arah tujuan bersama, serta membentuk manusia
”theomorphis,”yaitu pribadinya terhadap ruh Allah yang telah menaklukkan
belahan dirinya yang berkaitan dengan Iblis sehingga ia bebas dari rasa
bimbang.[4]
6. Mengembangkan fitrahnya sebagai khalifatullah yang mernpunyai kehendak
komitmen dengan tiga dimensi, yaitu:
a. Kesadaran
b. Kemerdekaan
c. Kreativitas
Ketiga kehendak itu d,itopang oleh ciri idealnya, yaitu :
a. Kebenaran (pengetahuaan)
b. Kebajikan (akhlak)
7. Menjadi penguasa untuk mengatur bumi dengan upaya memakmurkan dan mengelola
negara untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dijanjikan kepada
seluruh masyarakatyang beriman, bukan kepada
seseorang atau klas tertentu.[6]
8.
Mengambil bumi dan isinya sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dalam semua aspek kehidupan,serta dalam
rangka mengabdi kepada Allah.
9.
Membentuk
suasana aman, tenteram, dan damai di bawah naungan ridha Allah Swt.
10. Lebih jauh lagi, tugas manusia sebagai khalifatullah
adalah menjadi seniman yang islami, yaitu seniman yang terciptakan dalam rangkamengabdi karena Allah Swt.
Implikasi dalam pendidikan Islam
berkaitan dengan fungsi manusia sebagai khalifatuHah adalah: pertama, memberikan
kontribusi antar person dan antar umat untuk hidup saling mengisi dan
melengkapi kekurangan masing-rnasing. Kedua,
menjadikan alam sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan obyek
pendidikan, alat pendidikan, serta
media pendidikan. Ketiga, melatih manusia menjadi manajer dan pemimimpin
yang berkompetensi tinggi dengan kemampuan yang profesional dalam mengelola dan
memanfaatkan alam dan isinya sebagai sarana untuk mengabdi kepada Allah Swt. Keempat,
melatih sikap dan jiwa manusia. Apakah ia pantas diberi amanah, serta
apakah ia mampu memikul amanah tersebut, dan sejauh mana ia bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan amanat itu? Kelima,
membentuk manusia seutuhnya, yaitu manusia yang mampu mentransfer dan
menginternalisasikan sifat-sifat Allah yang tertuang dalam asmaul husna, sehingga segala aktivitas yang dilakukan manusia mencerminkan citra
manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
[1] Hamka, Filsafat
Hidup, (Jakarta: PT.Pustaka Panji Mas,1984), 7.
[2] Rachmat Djatmiko, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka
Islam,1985),65
[3]
Abu Bakar Muhammad, Membangun Manusia
Indonesia seutuhnya Menurut Al-Qur’an, (Surabaya: Al-Ikhlas,t.th),203.
[4] Ali Syariati, Sosiologi Islam, (Yogyakarta:Ananda, 1989), 159.
[5] Tim DEPAG RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, (Jakarta: DIRJEN
PKIA-PPTAI,1986),57.
[6]
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran
Agama Dalam Islam,terj.Ali Audah Dkk, (Jakarta:Tintamasi,1966), xvi